MEMBANGUN GREJA YANG MISIONER DALAM MASYARAKATYG PLURALISTIK


                                                                                         LANGKAH LANGKAH GPIB

                                          MEMBANGUN GREJA YG MISIONER DALAM MASYARAKAT YG PLURALISTIK

Germasa (Greja Masyarakat dan Agama) adalah suatu program yg diadakan oleh sinode kepada greja/pendeta..agar kita tidak hanya ada di dalam “kandang Intelektual” yang tertutup rapat……dengan adanya program ini kita belajar memahami realitas yg terjadi di Indonesia bersama agama2 lain….dan bagaimana memecahkannya tanpa melihat status dan identitas masing2…Indonesia adalah “rumah bersama” dan sudah sewajarnya kita bina,bangun bangsa ini menuju manusia yg beradab, salah satunya.

dengan adanya germasa minimal GPIB harus berusaha dan membuktikan bahwa GPIB hadir sebagai jemaat alternatif yang niscaya semangatnya jauh dr dunia birokrasi,nafsu kekuasaan, dll.

Tugas GPIB di tengah masyrakat bangsa indonesia yg sedang membangun salah satunya berjuang bersama sama dengan dgn agama2 lain, mewujudkan masyarakat yg lebih manusiawi berdasarkan apa yg dianggap sama, yaitu asketisme yg bersifat profetis. bersama-sama berjuang menggarami masyarakat sehingga menjadi dekat pada cita cita menjadi dekat pada cita2 kerajaan Allah.
Pemahaman iman GPIB harus menjadi alat komunikasi antara umat beargama dan dalam masyarakat Indonesia yg sedang membangun. tetapi GPIB/kita hars mawas diri jangan sampai ada pemikiran/mereka merasa terganggu dengan sikap kita, seakan kita memiliki jawaban atas segala persoalan. sebab ada kesan bhw org kristen/greja merasa dapat membuktikan kebenaran agama kita secara ilmiah.

GPIB seharusnya merenungkan ulang dan “memperbaruhi pemahaman teologisnya dengan mengacu pada kemanusiaan Yesus mendorong munculnya kristologi yg dialogis, sebab dr situ kita dapat memahami/mengkontruksikan panggilan kontekstualnya di tengah masyarakat yg kini dan yang akan datang.kita harus memiliki suatu pemahaman baru agar kita dapat meberi tempat bagi saudara2 kita yg beragama lain…jangan intelektual kita kita simpan dalam “istana orang berhikmat” walaupun iut adalah sikap yg wajar dan ada pada setiap agama yg yakin akan kebenaran agama mereka. kita harus keluar dari “istana org berhikmat” itu karena masalah manusia dan bangsa adalah masalah bersama kaum mkmin…

Terus bagaimana dengan peran GPIB dalam perkembangan agama-agama di Indonesia ?.
kita harus merenung ulang/atau sudah saatnya kita memikirkan dan merumuskan suatu pehaman teologi yg menempatkan agama2 lain dalam teologi kita.
GPIB harus mengedepankan pemahaman iman GPIB yg dialogis

PEMAHAMAN IMAN GPIB itu seharusnyabersifat terbuka dan dapat dirumuskan kembali untuk menjawab pergumulan manusia dalam zamannya. karena GPIB mempunyai hubungan dengan “orang lain”…tidak benar demi identitas kita harus memisahkan diri dr yg lain karena bangsa/indonesia adalah “rumah bersama”…tidak benar kita dapat berkembang tanpA dipengaruhi oleh agama lain. Juga tidak benar bahwa pemahaman iman GPIB adalah sesuatu yg dapat dirumuskan dalan suatu buku dan kemudian dipegang untuk seterusnya.Justru identitas itu harus selalu berkembang dalam hubungan dengan perkembangan agama2 lain. yg jelas identitas kita jangan diperalat demi tujuan lain. Kita bukan onderdil negara.

Pembakaran,perusakan,penutupan, dll yg bersifat anarkis pada greja di negri kita adalah suatu sinyal.alaram yg serius memperingatkan,bahwa cara2 “memperluas dan memperkokoh greja” dengan gaya ” kolonial imperial” sudah ketinggalan jaman. GPIB harus berusaha dan membuktikan bahwa GPIB hadir sebagai jemaat alternatif yang niscaya semangatnya jauh dr dunia birokrasi,nafsu kekuasaan, dll.

suatu “alasan yg amat tolol” jika kita mengambil sikap tidak bersahabat dengan agama2 lainyA jika kita ingin membangun bangsa ini. memang kerjaan Allah harus diberitakan….tetapi kekuatan iman tidak bersumber pada sukse dlm hal mempertobatkan orang lain.. jika tidak ada yg mau bertobat, kita tetap penuh Roh Kudus kok dan penuh damai….krn sumber Roh Kudus dan kedamaian bukan suatu sukses mempertobatkan manusia…tetapi Tuhan sendiri yg kita ketemukan dlm diri kita masing2 dan di dalam greja kita..Jadi tujuan greja adalah kebahagian kita sendiri dalam menciptakan persahabatan dan perdamaian. itulah komunikasi iman dengan pemahaman yg dialogis

kemajemukan hrsnya dimaknai sbg  rahmat ilahi, keragaman yg saling melengkapi (kesetiakawanan sosial ada didlmnya) spt biodiversity hutan (kalimantan, misalnya), perlu dicegah upaya monokultur hutan krn menyebabkan  keseimbangan ekosistem terganggu berujung pd bencana. Demikian jg jk masy dipaksa u menjadi monolitik tercerabut dr akar budaya kebhinekaan. Malapetaka !. Sbg bag dr. Masyarakat Indonesia, grja wajib hukumnya menyuarakn secara aktif, kritis, kreatif hal tsb

tapi apakah kita sudah siap menaggalkan identitas kita…sebab jika tidak kita tidak memiliki konsep sosial yg sama untuk mengakomodir konflik yg anarkis….

kita harus menjadi garam dan terang……identitas kita adalah kasih…….dan kita harus belajar dari realitas soisal yg ada….kenapa terjadi tindakan anarkis terhadap greja….harusnya kita cepat menyadari….mungkin cara2 “memperluas dan memperkokoh greja” dengan gaya ” kolonial imperial” sudah ketinggalan jaman….ke dua, banyak greja yang ingin menjadi  garam dan terang tetapi “salah konsep”

wajar setiap agama mempertahankan identitas masing2…menganggap bahwa ajaran mereka benar….tapi kalau itu dikedepangan masing2 agama…pasti tdk ada titik temu

HAMPIR semua kasus yang menyangkut tragedi kemanusiaan di negeri yang katanya ramah ini tidak kunjung terselesaikan secara adil. Persoalan yang menyangkut nasib manusia, entah karena dipetieskan, ditutup-tutupi, diperdagangkan (melalui konsesi-konsesi ekonomi politik) ataupun karena adanya intervensi-intervensi pihak yang berkuasa (dominan) tidak lebih menjadi tontonan, jeritan dan tangisan orang-orang tertindas. Muncul dalam benak kita, Dimanakah keadilan? Jika kita menoleh kebelakang, banyak peristiwa yang menyangkut Hak-hak Azasi Manusia tidak pernah tersentuh hukum dan keadilan bagi yang melakukannya. ini salah satu mengapa ada program germasa…….apakah  ini terjadi karena agama turut berperan di       dalamnya ??

Sistem teologi masyarakat Indonesia yang formal-tradisional sebagai wujud dari sistem kepercayaan dan nilai sosial budaya secara historis membentuk dan mengendap di alam bawah sadar, sehingga menjelma menjadi kesadaran  kolektif masyarakat Indonesia yang terwariskan, pada gilirannya berimplikasi pada tatanan sosial praksis. Kesalahan yang sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang dianggap suci atau yang mempunyai kekuasaan selalu ditolerir oleh masyarakat sekitarnya.

Sy melihat bhw kebanyakan gereja msh belum menyatu dg. realitas sosial di masyarakat shg gereja menjadi ‘asing’ dan kalo sdh asing mk gampang diidentifikasikan sbg ‘barat’ yg merupakan   musuh utama yg hrs dibasmi. Seperti yg di katakan, ‘salah konsep’ .  Gereja lbh mengutamakan  bersaksi, seharusmya greja juga perlu utk  mengidentifikasi apa kebutuhan  masyarakat  sekitar dan mengawalinya dengan melayani,  bersaksi itu pasti dengan sendirinya terlaksana sebagai imbas dari melayani. Pada sisi lain, setiap agama yang berbeda perlu mencari titik temu kesamaan  pandangan pada nilai2 universal seperti p kedamaian, HAM, keadilan dan hukum (ini semua sebenarnya sdh ada dalam dasar negara Panca Sila). Jadi, mengapa kita tak kembali ke Panca Sila.

kita harus menjadi garam dan terang……identitas kita adalah kasih…….dan kita harus belajar dari realitas soisal yg ada….kenapa terjadi tindakan anarkis terhadap greja….harusnya kita cepat menyadari….mungkin cara2 “memperluas dan memperkokoh greja” dengan gaya ” kolonial imperial” sudah ketinggalan jaman….ke dua, banyak greja yang ingin menjadi garam dan terang tetapi “salah konsep”

Sistem teologi masyarakat Indonesia yang formal-tradisional sebagai wujud dari sistem kepercayaan dan nilai sosial budaya secara historis membentuk dan mengendap di alam bawah sadar, sehingga menjelma menjadi kesadaran kolektif masyarakat Indonesia yang terwariskan, pada gilirannya berimplikasi pada tatanan sosial praksis. Kesalahan yang sering kali diperlihatkan oleh orang-orang yang dianggap suci atau yang mempunyai kekuasaan selalu ditolerir oleh masyarakat sekitarnya.

Teologi formal-legalistik tradisional memandang kata kuasa lebih dipahami sebagai fakta atau Thing (sesuatu) dari pada sebagai nilai yang temanifestasikan kepada segala sesuatu. Padahal kerajaan Tuhan di bumi ini akan terbentuk hanya dengan nilai-nilai ketuhanan bukan dengan kekuasaan. Konsep ini sering dianalogikan dengan raja atau penguasa yang berkuasa tanpa batas dan hukum…..

Model stragegi dr greja misi yg akan dikembangkan gpib adalah bersaksi,bersekutu n melayani…tinggal kita mendesainnya

Pemahaman iman GPIB lebih ditekan kearah dialogis yg komunikatif, karena itu harus dan sangat diperlukan. Harus kita akui bahwa ada kelemahan di greja kita sekarang ini. Ketika mau ada hajatan besar, baru kita buat dialog, ketika mau bangun greja baru mendatangi masyarakat non kristen untuk mendapatkan persetuju-an dan sebagainya, sebaliknya juga demikian . banyak dr kita yang mengeksklusifkan diri. Ketika mau bangun gereja baru cari tanda tangan dari masyarakat sekitar. Sebenarnya membangun kebersamaan atau membangun persaudaraan itu bukan karena membangun gereja, bukan karena ada kebutuhan mendesak. Coba kalau kita sudah biasa membaur, biasa kumpul-kumpul bersama entah aktivitias sosial, kesehatan, sudah sering bersama, maka semuanya akan lebih mudah. Jangan tunggu ada hajat besar baru melakukan kerjasama. ini salah satu contoh saja

GPIB dalam startegi misinya…tidak melulu dijejali “doktrin greja”….GPIB belum maksimal dalam berteologi/suatu ajaran yg mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari. Alkitab hanya sebagai hapalan, hanya literal. Bolak-balik dibaca, berulangkali dibaca tapi belum mampu diamalkan secara aplikaktif.

GPIB harus memilik strategi misi berasas kekeluargaan/persaudaraan, memiliki “kesetiakawanan nasional”

GPIB harus memiliki strategi misi membangun persaudaraan dari level bawah. Tidak cukup hanya pertemuan pimpinan atau kelompok elitnya. Kalau di level atas tidak ada persoalan

Saya ingat perkataan bapak ketua sinode dalam pembinaan hari sabtu,24 september DALAM PENAHBISAN gedung GPIB SION NUNUKAN…dalam pendekatan terhadap jemaat/majelis yg tidak aktif, beliau mengatakan harus mengawalinya dengan PENDEKATAN INFORMAL…..Mengapa tidak jika GPIB dalam strategi misinya menggunakan strategi misi PENDEKATAN SECARA INFORMAL

GPIB dalam strategi misinya…pemahaman iman GPIB harus memiliki posisi strategis dalam proses dialog yang komunikatif dalam kesetiakawanan nasional n solidaritas sosial masyarakat majemuk.

Dengan adanya germasa gereja/pendeta di bawa ke Teologi kritis yang membebaskan akan terwujud, jika teologi dan hermeneutika sosial dipahami secara dialektis. Teologi harus ditransformasikan secara kreatif dalam dimensi etika sosial. Secara etika sosial, teologi diharapkan dapat memberi “makna terdalam dari hakekat dan eksitensi” bagi manusia sebagai hamba Tuhan di bumi ini. Teologi harus memberikan rasa keadilan dan tidak diskriminatif, sehingga orang yang bersalah harus diganjar sesuai dengan perbuatannya.

Dengan adanya germasa gereja/pendeta di bawa ke Teologi kritis yang membebaskan akan terwujud, jika teologi dan hermeneutika sosial dipahami secara dialektis. Teologi harus ditransformasikan secara kreatif dalam dimensi etika sosial. Secara etika sosial, teologi diharapkan dapat memberi “makna terdalam dari hakekat dan eksitensi” bagi manusia sebagai hamba Tuhan di bumi ini. Teologi harus memberikan rasa keadilan dan tidak diskriminatif, sehingga orang yang bersalah harus diganjar sesuai dengan perbuatannya.

Bukan masanya lagi idiom ‘raja tak pernah salah’, raja pun butuh rakyatnya (kalo nda ada rakyat bukan kerajaan namanya). Menyatunya raja dg. rakyatnya (manunggal kawula – alit ?) bermakna rajanya mau turun ke bawah dan rakyatnya dinaikan/diwongke shg bertemu manunggal dalam satu level/garis. Ini yg harus diadakan antara penguasa – rakyat, pemimpin – umat, pejabat gereja – jemaat. Teologi berperan memberi arah, aksinya germasa

 

 GPIB SION NUNUKAN

                                                                                                                                                                                                                                      By: Martha Belawati

2 pemikiran pada “MEMBANGUN GREJA YANG MISIONER DALAM MASYARAKATYG PLURALISTIK

  1. mantap Bu… apakah ini hasil pertemuan Germasa kemarin yang di Bali Bu…?
    semoga GPIB makin menjadi berkat dalam mewujudnyatakan Kerajaan Allah.

Tinggalkan komentar