“ Aku Gereja, kaupun Gereja, kita sama-sama Gereja ” = GPIB
Pendahuluan
Setiap aku,kau dan kita yang menamakan diri sebagai anggota gereja, sudah seharusnya mampu menjawab pertanyaan Siapakah aku, kau, dan kita dalam gereja? serta peran apa yang sudah aku, kau dan kita perbuat dalam bergereja ? Pertanyaan yang ditujukan pada diri sendiri sebagai anggota gereja menjadi “cermin” untuk memahami pentingnya mengambil peran dalam hidup bergereja . Gereja adalah “aku, kau dan kita” sebagai umat Allah yang ditugaskan sebagai pelaksana di dunia. “Aku, kau dan kita” yang “memberi nyawa” bagi keberlangsungan bergereja, memperkenalkan karya Allah yang menegakkan tanda-tanda kerajaan-Nya .
Dalam pemahaman Zakaria J. Ngelow, gereja sebagai wujud eksistensil umat Kristen memiliki hakekat yang unik. Gereja adalah persekutuan orang-orang yang menerima pengampunan dosa yang dikaruniakan Allah melalui penderitaan, kematian, kebangkitan Yesus Kristus dan menerima hidup baru dalam tuntunan Roh Kudus. 1)
Gereja dari Tuhan asalnya. Manusia lebih sebagai pelaksana yang harus tunduk kepada Allah sebagai pemegang otoritas tertinggi dengan patuh kepada norma-norma dan prinsip-prinsib sebagai kesaksian kitab suci. 2)
Gereja berada di dalam dan diutus ke dalam dunia. Sungguhpun gereja tidak berasal dari dunia ini, gereja tidak bisa tidak terhubung dengan dunia dalam fungsi yang ditetapkan Tuhan, yaitu menjadi garam dan terang dunia . 3)
Walaupun gereja diutus ke dalam dunia , dunia tidak ramah, dunia membenci gereja dan menolak Tuhan Yesus . Gereja diutus Selaku domba di tengah kawanan serigala. Tetapi kebencian dunia karena aku, kau dan kita sebagai gereja sering membuat kesalahan dalam memberi kesaksian pada dunia. Perilaku aku, kau dan kita sebagai gereja yang pongah, terkungkung dengan kedudukan, materi, berpikir gamang dan melekat pada kepuasan duniawi. Sering perilaku aku, kau dan kita sebagai gereja mementingkan diri sendiri, sering berdiam diri menyaksikan kezaliman, tetapi cepat bereaksi ketika kepentingannya terusik.
Gereja menjadi hidup jika aku, kau dan kita tulus dalam melayani bahkan rela menderita dan berkorban. Firman Tuhan : “Siapa yang mengikut aku hendaklah ia memikul salibnya setiap hari…” (Markus 8: 34). Aku, kau dan kita sebagai makhluk sosial sebagai gereja jangan terkungkung dalam “lapangan orang-orang berhikmat” (eksklusif) , harus memiliki tekad keluar dalam diri dan berjumpa dengan “aku, kau dan kita yang lain” untuk berinteraksi , saling menghargai dan tolong menolong dengan mengedepankan kasih.
___________
1. Asrianto Saili Lamban, Merawat kehidupan “Biografi dan Pemikiran” DR. Zakaria J. Ngelow, h. 44
2. Zakaria J. Ngelow, “Gereja di tengah Bangsa dan Masyarakat”, op.cit. h. 10.
3. Seri Membangun Bangsa, “Gereja dan Kontekstualisasi”, h. 10
Aku, kau dan kita sebagai gereja dan institusinya sering beramah-tamah dengan dosa . Persoalannya amat kompleks: bukan sekedar urusan survival secara finansial dan profesionalitas kepejabatan, maupun sikap kompromistik secara rohani, bahkan eksistensinya sendiri, terdapat isu sentral, yaitu kapasitas dalam rangka pemenuhan akan panggilan profetik kita dalam bersaksi dan melayani dalam maupun di luar.
Aku, kau dan kita sebaga gereja perlu didesain oleh-Nya sebagai suatu proses pembinaan dalam rangka mewujudkan kehadiran Kristus dalam lingkungan eksternal secara berkelanjutan. Gereja bukan sekedar sebuah kelompok doa, bernyanyi dan mendengar khotbah para pendeta, bahkan sekedar menjalankan program. Aku, kau dan kita sebagai gereja adalah “nafas” kehidupan iman dalam eksistensi sebuah gereja dimana Kristus sebagai kepalanya; bagaimana memerankan nilai-nilai spiritual untuk menyinkronkan dan menyatukan persepsi dan perbuatan.
Gereja memerlukan fleksibilitas yang tinggi dengan institusinya yang terpercaya (high trust). Tujuannya adalah untuk membangun kapabilitas yang memberikan perasaan percaya kepada setiap stakeholders (jemaat), bahwa gereja dan institusinya berjalan dengan terukur dalam sebuah sistem, prosedur, kebijakan, dan integritas yang mampu secara kontinyu memenuhi harapan dari para stakeholder. Agar terjadi komitmen yang baru, diperlukan telaah tentang bagaimana dan seberapa sempurna gereja telah memberikan responsnya terhadap panggilan (profetik) tersebut.
Aku, kau dan kita sebagai gereja hendaklah bersifat kekinian dan keakanan yang penuh semangat, artinya gereja harus memerankan pemahaman iman berwatak up-to-date, saat ini,, simultan, sejaman, dan futuristik yang membumi. Gereja hendaklah digiatkan untuk melakukan tugasnya secara tulus dan konstruktif. Jika tidak, gereja akan berdampak “sistemik “ yang artinya ; Gereja akan mengalami penyakit atau gejala yang mempengaruhi tubuh secara umum, gereja akan mengalami kehancuran dalam sistem yang saling berkait, semua yang ada dlm sistem itu akan hancur.
Aku, kau dan kita sebagai institusi Gereja yang Visioner
Pemimpin/gereja disebut visioner jika dia mentransformasi visi Yesus . Di mana mereka harus konsern, imajinatif,kreatif,aktif, dan memiliki skill yang memadai untuk merancang strategi untuk mencapai tujuan atau mendeliveri apa yang dicita-citakan dicita-citakan Yesus kepada anak-anak-Nya. Bila seorang pimpinan telah memahami visinya , artinya dia telah membuat sebuah warna akan masa depan yang sejahtera Jadi, kepemimpinan yang visioner mutlak diperlukan namun tidak hanya sampai di situ, melainkan ia juga harus mampu merancang strategi untuk mencapai visi itu.
Aku, kau dan kita sebagai institusi Gereja yang “waras” (kontributif) akan menghasilkan suatu organisasi yang bertunas dan berdinamika serta semua konstituennya bermanfat dengan seharusnya dan membuahkan hasil yang baik dan berimpresi, berimpak bagi lingkungan sekitar.Kepemimpinan yang kontributif pasti ditopang oleh beberapa elemen penting sebagai penggerak menuju arah ( yang dituju bersama)
Hendry Kissinger mengatakan, “Seorang pemimpin adalah seorang individu pecipta visi yang menggerakkan orang-orang dari tempat dimana mereka berada ke tempat dimana mereka belum pernah ada. Ini berarti aku,kau dan kita sebagai gereja harus memiliki skill yang mumpuni. Dengan visi sebuah organisasi akan menjadi dinamisator yang tepat pada sasaran yang impikan bersama, namun sebaliknya bisa visi “macet” oleh karena aku,kau dan gereja, maka tentunya arah gerak suatu institusi akan terombang-ambing seperti perahu ditengah ombak tanpa nahkoda.
Eka Darma Putera, menggambarkan ketiadaan pemimpin yang punya visi sebagai suatu keadaan yang bergerak tanpa arah, serta sibuk dengan diri, tanpa makna. Dan, hasilnya hanyalah kepenatan, tanpa tahu untuk apa.
Visi merupakan pemberian dari ‘mata iman’ untuk melihat yang tidak kelihatan, untuk mengetahui apa yang tidak mampu diketahui, dan memikirkan apa yang tidak mampu dipikirkan. Visi itu menjadi titik temu atau sasaran – arah gerak kita sebagai umat-Nya. Jadi jelas, kalau seorang pemimpin tidak memilik visi dari Tuhan, ia akan ‘STOP’ . Visi dari Tuhan merupakan panggilan bagi manusia. Itu sebabnya penting bagi seorang pemimpin untuk mendapatkan visi yang bersumber dari Allah sendiri. Visi timbul karena adanya hati yang terbeban untuk mengetahui serta melakukan kehendak Tuhan dan untuk menjadi apa pun yang dikehendaki Tuhan. 4)
Tujuan visi Allah tidak lain adalah untuk membangun Tubuh Kristus, dimana Dia adalah kepala kita. Dan kepala memberikan kita visi dengan perintah yang sangat jelas. Di sinilah letak perbedaan seorang pemimpin kristiani dengan pemimpin sekuler. Allah yang mengerjakan bagi umat-Nya dan Allah yang menuntun dalam mencapai visi itu untuk membangun tubuh Kristus.
Hal ini juga menunjukkan bahwa kekuasaan atau otoritas yang dimiliki Tuhan Yesus memberikan wewenang untuk menjalankan sebuah Visi, yaitu visi Pemberitaan Injil dan ini yang harus dijalani oleh aku, kau dan kita sebagai gereja.
Aku, kau dan kita sebagai gereja mulai belajar ulang telaah teologis untuk menjawab kompleksitas tentang wujud bergereja yang harus membumi sesuai dengan Firman Tuhan, yang dalam keseharian hidupnya sukar mengaktualisasi dengan optimal visi dan misinya melalui program Tri Dharma panggilan gereja, apalagi membangun secara bermakna nilai-nilai fundamental yang dipercayai seperti akuntabilitas, responsibility secara ketat berdasarkan perspektif iman (faithful obedience). Atau dengan kata lain, hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan di mana gereja sebagai institusi yang bertanggung- jawab atau berkewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak .
Aku, kau dan kita sebagai gereja harus diberi “suplemen” untuk menyalurkan seluruh energi dalam survival strategi institusinya, maka kesiapan untuk memberi respons terhadap tekanan-tekanan di lingkungan sekitar dapat ditekan agar fungsi gereja sebagai garam dan terang dapat terus berdampak . Jika gereja tidak “berenergi” maka kehadiran gereja hanya nampak pada simbol-simbol, dan mungkin juga sekedar ritual dengan berbagai peranti penopangnya.
Aku, kau dan kita sebagai gereja harus membentuk profil gereja yang membumi , mampu berperan dalam era globalisasi dan industrial yang bertumbuh dan berubah bagaikan anak panah yang melesat, dan karena itu gereja hendaknya memberi respon terhadap perkembangan ini.
_________
1.SABDA.org / PUBLIKASI / e-Leadership / Edisi 2012 No. 0114
Idola yang baru adalah kemakmuran di mana materialisme memiliki juga dampak negatif bagi gereja dan masyarakat luas. Harus kita akui gereja sendiri kurang berjuang atau tidak sama sekali berusaha mengubah sehingga menyebabkan berkembangnya kekristenan yang “jalan di tempat”. Pada akhirnya kapasitas dalam rangka pemenuhan akan panggilan profetik kita dalam bersaksi dan melayani di lingkungan gereja tidak berkembang .Aku, kau dan kita sebagai gereja hendaknya berusaha “menciptakan” komitmen yang baru, diperlukan kajian tentang bagaimana dan seberapa sempurna gereja telah memberikan responsnya terhadap panggilan (profetik) tersebut.
Analisisnya hendaknya dimulai dengan distorsi-distorsi dari kebenaran, dan didasarkan atas keyakinan bahwa:
(1) Gereja juga sudah menjadi kontributor pada distorsi yang ada;
(2) Perlu ada kerendahan hati untuk bertobat dan memohon pengampunan—bukan menonjolkan arogansi;
(3) Semua pembaharuan harus bertolak dari perspektif kerajaan Tuhan—bukan kepentingan kelembagaan belaka. Mudah-mudahan dari titik berangkat demikian dapat diingat kembali dan ditumbuh kembangkan kembali agar gereja sadar betul bahwa:
(a) “takut akan Tuhan adalah permulaan segala pengetahuan”—bukan saja pengetahuan rasionalistik;
(b) “obedience to God” (ketaatan kepada Allah) dimengerti sebagai “true freedom” (kebebasan sejati) dalam kontras dengan “individual self-determinism” (kebulatan yang bersifat pribadi) ;
(c) buah-buah roh diterima sebagai “abundant life” (hidup berkelimpahan) dalam kontras dengan “personal success”. (kesuksesan pribadi). 5)
Jadi, gereja perlu mengulang dan mengembangkan sebuah common framework (kerangka umum) secara teologis untuk mewujudkan kehadirannya di dalam dunia—pada hakekatnya sebagai landasan dari kehidupan yang baru (langit yang baru dan bumi yang baru) yang substansial . 6)
Aku, kau dan kita sebagai gereja bertanggung jawab secara moral sebagai ciptaan, hidup yang ingin kita bina “dari kelimpahan Allah” yang hidup untuk kita. Gereja harus berbelarasa dengan “keprihatinan-keprihatinan sosial”. Aku, kau dan kita sebagai gereja harus memiliki strategi yang lebih realistis dan berdampak langsung bagi masyarakat sekitar. Memberdayakan para stakeholder baik para fungsional maupun professional sebagai ‘think tank’ dalam menciptakan strategi pengembangan sebuah konsep mutualisme antara gereja sebagai institusi dengan jemaat berkarya dan berpartisipasi membangun bangsa dan lingkungan sekitar bahkan menjadi gereja yang mewujudkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya secara tulus dan jujur. Gereja akan bertumbuh jika tangan-tangan yang terampil, berkualitas dan berintegritas dimanfaatkan dengan bijak.
___________
5. Tulisan ini terinspirasi dari tulisan Willi Toisuta –Nota Konsep Campus Ministry , (Willi Toisuta & Associates)
6. Ibid.
Pentingnya Visi bagi kepemimpina di dalam institusi Gereja
Menurut Andreas Harefa, Sosok seorang pemimpin visionaris adalah orang yang mampu melihat ‘status Quo’ dan mampu melihat sebuah ide , impian, atau harapan tentang masa depan yang lebih baik, lebih manusiawi, dan lebih dikompromikan oleh Tuhan sebagai sebuah kenyataan yang mungkin dilakukan lewat perjuangan dalam ketaatan kepada-Nya. Memiliki minat dan perhatian yang amat besar terhadap potensi manusia yang ada, yang mengejar kesempurnaan sebagai ciptaan Tuhan; mengambil inisiatif dengan menerima tanggungjawab untuk melaksanakan perubahan yang diyakini sebagai panggilan hidup di dunia.”Ini berarti, seorang pemimpin visioner harus menempatkan visi itu sebagai “sandal” untuk berjalan keluar dari ‘status quo’, dan mencapai mimpi bersama dengan kelompok organisasi yang dipimpinnya. Oleh sebab itu seorang pemimpin harus punya visi bila ingin menjadi pemimpin yang baik dan membawa perubahan bagi kelompok yang dipimpinnya.
Seorang tokoh terkemuka, Dr. Martin Luther King Jr. yang berdiri di Tangga Lincoln Memorial, berbicara di depan 250.000 orang. Pada waktu berbicara, dia menyampaikan sebuah visi. Dia berbicara mengenai harapan masa depan yang lebih baik, tidak hanya untuk orang kulit hitam Amerika, tetapi untuk semua orang Amerika. Dia menyatakan demikian, “Saya memiliki sebuah Impian (I have a dream).” Dia menyatakan visinya dengan jelas, dengan cara yang bersemangat, optimis, dan membuat orang lain juga merasakan semangat yang sama, impian dan visinya itu telah menggerakkan bangsa itu. 7)
Visi adalah pendinamis artinya bergerak dan melangkah saat ini menuju ke masa depan yang lebih baik. Sebuah visi yang besar dan benar akan menggerakkan mereka untuk mengambil tindakan aktif di dalam visi itu. Visi yang baik akan menjadi tantangan bagi anggota untuk melakukan suatu perubahan besar yang bergerak ke arah yang lebih baik. Visi haruslah membawa pada satu pembaharuan dan menjadi harapan bagi banyak orang.
Keberhasilan suatu organisasi gereja dalam menggerakkan anggota jika visi itu menginsipirasi dan menginterpetasi orang lain untuk berbuat sesuatu yang digumuli. Sebesar apapun suatu organisasi ditentukan oleh sebesar apa visi yang ditanamkan bagi organisasi. Sebuah visi terkadang memiliki cara yang unik untuk mengarahkan gerakan organisasi . Visi memberikan gambaran mental yang sesuai buat kita dan membuat orang-orang tetap memiliki “impian besar”. Visi adalah denah perjalanan untuk menuntun dan mengarahkan aku,kau dan kita. Kita tidak akan pernah tahu ke mana kita harus melanjutkan perjalanan jika indra penglihatan kita tertutup, pasti kita akan meraba-raba dan tidak tahu kemana kita akan pergi. Seorang pemimpin visioner harus bisa tampil di depan dan mendeklarasikan visi organisasi itu, memimpin mereka, mendorong, mengarahkan dengan tetap bersandarkan pada visi yang diyakini bersama.
Brian Tracy, mengatakan bahwa diantara 3.000-an penelitian yang pernah dia baca, ia menyimpulkan dengan menempatkan visi pada tempat teratas dari daftar kualitas kepemimpinan pada umumnya. Visi, menurut tracy, memunculkan harapan, dan harapan adalah motivator yang ampuh.
__________
7. www.gktlampung.org/…/pentingnya-kepemimpinan-k., Pentingnya kepemimpinan Kristen yang Visioner, 24 Juli 2010.
Visi bisa mengubah pikiran dan hati seseorang apabila mereka menerima visi tersebut sebagai visi mereka sendiri. Visi yang mengubahkan adalah visi yang mengilhami pengikutnya yang mendorong mereka memberikan pengabdian dan bertindak. Visi yang memotivasi memungkinkan pengikut visi itu hidup seakan-akan hari ini adalah hari yang pertama dan yang terakhir dalam kehidupan kita. Bukan untuk menyetir kita melainkan untuk memberi kita tujuan. Visi memberikan kita suatu keyakinan, dan memberitahu apa yang harus kita lakukan. Visi memotivasi kita karena hal itu memusatkan perhatian kita pada masa depan dan mendorong kita untuk mengambil tindakan ke arah perwujudannya. 8)
Yang harus kita ingat, aktif di gereja tidak selalu selaras dengan spiritualitas pribadi. Banyak di aantara kita terlalu sibuk sehingga tidak konsern terhadap kebutuhan mendesak manusia yang ada di sekeliling mereka. Kita dapat saja aktif di gereja, tetapi tidak aktif dalam menjalankan ajaranNya sama juga boong.
Gereja tidak hanya sekedar berkumpul, tetapi lebi dari itu ! Dan kelebihan dari gereja itu akan menunjukkan kedinamisan gereja dan “kehidupan” gereja. Dari gereja harus dipancarkan “greget” yang dapat mempengaruhi segi-segi kehidupan masyarakat. 9)
Gurita materealis yang menyusup ke setiap tulang sumsum manusia kristen saat ini, termasuk para hamba Tuhan. Banyak di antara kita dibanjiri bujuk-rayu konsumeris yang melemahkan kesadaran kritis kita. Derasnya banjir bujuk rayu tak terimbangi oleh ketahanan daya tangkalnya, menumpulkan rasionalitas kritis. Hal ini terjadi baik di lingkungan di luar maupun di dalam gereja. Ciri khasnya adalah penekanan (pengejaran) terhadap kemakmuran. Sehingga visi tidak berjalan semestinya bahkan menyimpang.
Jika makna kepemimpinan sekuler yang dihayatinya, maka sekalipun ia dikenal sebagai “pemimpin Kristen” tetapi sesungguhnya praktik kepemimpinannya bukan “kepemimpinan Kristen.” Bangunan gereja menjadi -ibarat- istana-istana kecil yang sering konflik karena pernik-pernik dogmatik-liturgis, sehingga menjerat kaki yang akhirnya jalan menjadi tertatih-tatih bahkan stagnan. Sebaliknya, jika ia menghayati dan menerapkan kepemimpinan yang “Kristen” – berlandaskan perspektif Alkitab- maka baru kepemimpinannya layak disebut kepemimpinan yang “rohani”.
Oleh sebab itu kepemimpinan amat penting dan signifikan dalam kehidupan bersama, begitupun di dalam bergereja. Sulit dibayangkan sebuah organisasi akan mampu melaksanakan visinya sesuai dengan program-program yang telah dirumuskan . Pemimpin dan kepemimpinan adalah motor penggerak, dinamisator, motivator, pemberi visi dan inspirasi bagi sebuah organisasi. Akan menjadi sia-sia jika pemimpin yang kita pilih hanya menjadi “ondel-ondel” (boneka). Dan akan lebih sia-sia lagi dan membuat Tuhan sedih kalau seseorang dipilih menjadi pemimpin karena menggesek ATM-nya.
Kepemimpinan Kristen adalah kepemimpinan yang dimotivasi oleh kasih, ditujukan untuk pelayanan, dan dikendalikan oleh Kristus dan mengikuti keteladananNya. Pemimpin-pemimpin Kristen yang terbaik mencerminkan sepenuhnya sifat pengabdian yang tanpa pamrih (tidak mementingkan diri sendiri), teguh hati, berani, tegas, berbelas kasih.
_________
8. http://www.gktlampung.org/…/pentingnya-kepemimpinan-k., Pentingnya kepemimpinan Kristen yang Visioner, 24 Juli 2010.
9. Seri membangun bangsa; Peran serta Gereja dalam Pembangunan nasional, h. 188, (Jakarta,1998)
Sekilas pandang kepemimpinan Institusi GPIB
Benarkah GPIB termasuk gereja- gereja yang “primitif” (tradisional) yang menjadi gelanggang dan bidikan kritik dan celaan yang hebat ?
Kritik dan celaan datang dari semua jurusan. Gereja-gereja tua dan tradisional dituduh hanya sibuk dengan dirinya sendiri, hanya memikirkan dirinya sendiri, bagaikan burung unta yang menyembunyikan kepalanya di dalam tanah. Tidak peka dan tidak perduli terhadap sekitarnya. Menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di sekitarnya. Menutup telinga terhadap ratapan “wong cilik” yang hidup dalam ketakutan dan penindasan. Gereja, kata mereka, semakin kehilangan kredebilitasnya, kehilangan spritualitasnya, telah menjadi kering, terlalu memakai otak dan kepala, tidak menyisakan apa-apa untuk hati. Ibadah-ibadahnya loyo, nyanyian-nyayiannya hanya menggerakkan bibir, tidak menyentuh emosi. Kotbah-kotbahnya hanya abu tanpa api.. Itu sebabnya banyak warga jemat yang mulai mengungsi. Istilah yang dipakai: bosan makan rumput yang kering melulu. Karena itu keluar mencari rumput hijau.. 9)
Karena itu, Kualitas kepemimpinan GPIB harus diperkuat dengan pengertian tentang arti dan hakekat kepemimpinan yang melayani. Sebab sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja, kepemimpinan yang dipraktikkan seorang pemimpin akan diwarnai oleh pemahaman internalnya tentang arti kepemimpinan itu sendiri. Apabila kualitas seorang pemimpin tidak memahami arti dan hakekat kepemimpinan, hal tersebut akan sama seperti yang dikatakan Tuhan Yesus, “orang buta menuntun orang buta”. Persyaratan pemimpin Kristen sangat menekankan aspek karakter dan sosialnya.
Yang harus kita garis bawahi organisas kristen, terutama gereja BERBEDA dengan organisasi “duniawi”. Saya meyakini bahwa kehadiran organisasi gereja ada karena campur tangan dan peran Tuhan di dalamnya. sekalipun tidak dapat dipungkiri sarana menejemen berperan untuk membantu pengembangannya, tetapi eksistensi dan perkembangannya tidak semata-mata karena faktor menejemen belaka justru pekerjaan Roh Tuhan harusnya mendominasi organisasi gereja dan tidak terbatas pada para pendetanya. Tidak jarang kita sebagai pendeta justru menjadi penghambatnya, mempersalahkan anggota jemaat dan yang paling utama mempersalahkan diri sendiri, mengintropeksi diri. Apa kelemahan dan kekurangan saya?
Seorang filsuf Yunani klasik, yang bernama Heraclitus, pernah mengatakan, bahwa segala sesuatu itu selalu bergerak, selalu berubah. Tidak ada yang tidak ! Pantha rhei! . Satu-satunya yang tidak pernah berubah , kata Heraclitus, adalah perubahan itu sendiri. 10)
Jika dunia berubah, manusia telah berubah, seharusnya gerejapun berubah, tidak hanya begitu-begitu saja, gereja lambat seperti “kura-kura”.
Jika tuduhan yang di alamatkan ke-GPIB, berarti GPIB membutuhkan pemimpin yang “bersuplemen” untuk mencari jalan, mencari bentuk-bentuk baru untuk mengatasi masalah-masalah baru.
_________
10. Eka Darmaputera, Menyembah dalam Roh & Kebenaran , (2007, Jakarta: Gunung Mulia), h.29-30
11. Ibid. h. 31
Ada dua perbedaan prinsipil antara gereja dan organisasi. Pertama, dari segi naturnya. Hakekat gereja adalah organisme bukan organisasi. Ada tiga pihak yang hadir dalam gereja: Kristus, warga jemaat, dan pemimpin. Karena hakekat gereja sebagai organisme maka setiap anggota harus memiliki relasi pribadi dengan Kristus sebagai kepala gereja, dan sewajarnya setiap anggota memiliki persekutuan satu dengan lainnya. Kedua, sasaran utamanya. Gereja mengutamakan manusia lebih daripada benda, kerja, atau hasil. Sebab itu tujuan utama gereja adalah kedewasaan dari tubuh dalam relasi dengan Tuhan dan antar sesama di dalamnya. Sedangkan tujuan utama organisasi adalah untuk melaksanakan tugas dan mencapai upaya produktif,sehingga bisa saja mengabaikan kepentingan individu dalam organisasi sebab yang penting bisa mencapai targetnya. 11)
Implikasi dari prinsip Alkitab tersebut adalah, gereja (komunitas umat Allah) sebagai organisme, secara terbatas dapat memanfaatkan sistem organisasi dan manajemen untuk melaksanakan fungsinya sebagai umat Allah. Namun gereja harus tetap mempertahan sifat “keorganismeannya” yang mengutamakan manusia, relasi antar pribadi, dan kebergantungan kepada Kristus sebagai Kepalanya.
GPIB sebagai organisasi gereja di samping memahami arti dan hakekat kepemimpinan GPIB juga harus memahami SISTEM KEMANUSIAAN secara mendasar yang pada akhirnya dapat memberi pemahaman/perbedaan organisasi gereja.
Manusia adalah sebuah sistem : yang artinya bentuk fisik yang dikelilingi oleh lingkungan (surrounding). Yang membatasi sistem dengan lingkungan adalah pembatas (boundary). 12)
Manusia adalah ciptaan Tuhan yang spesial. Manusia diciptakan segambar dengan Tuhan yang sama-sama memiliki esensi roh. Arti segambar adalah manusia yang memiliki roh yang berasal dari Tuhan. Sehingga manusia dapat memancarkan sifat-sifat rohani Tuhan yaitu buah-buah rohani, kasih, sabar, sukacita dst. Manusia yang mengandalkan Tuhan maka sifat-sifat roh (rohaninya) akan mempengaruhi keinginan jiwa.
Sistem manusia yang memiliki rohani ini akan memiliki daya imun untuk mencegah keinginan dosa disaat seorang manusia-rohani berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Ketika seorang menembus batas (boundary) sistemnya dan memasuki lingkungan sifat-sifat roh itu muncul sebagai sifat manusiannya. Karena orang yang bersekutu dengan Tuhan memiliki “sistem online” sehingga Tuhan selalu membantu mereka dalam berbagai hal dalam kehidupannya. Roh Tuhan didalam hati manusia, maka mereka akan penuh kasih, tidak ada satupun hukum yang menentang kasih. 13)
Gereja adalah kumpulan dari sistem-sistem tersebut yang memiliki sifat roh yang sama. Jadi kita bisa melihat gereja sebagai suatu sistem yang lebih kompleks yaitu sistim di dalam sistem.
_________
12. gkagloria.or.id/artikel/a14.php – GKA GLORIA – ARTIKEL – Gereja Kristen Abdiel Gloria Surabaya
Kepemimpinan Kristen Versus Kepemimpinan Sekuler, Oleh: Pdt. Ruslan Christian
13. filsafat.kompasiana.com/… Manusia adalah Sebuah Sistem, OPINI | 28 January 2010 |
14. Ibid.
Gereja adalah kumpulan dari sistem-sistem tersebut yang memiliki sifat roh yang sama. Jadi kita bisa melihat gereja sebagai suatu sistem yang lebih kompleks yaitu sistim di dalam sistem. Gereja adalah tempat latihan, melatih sistem pribadi (manusia) untuk saling mengasihi, belajar saling mengisi, belajar saling menolong sehingga ketika masuk ke lingkungan mereka telah cukup kuat menghadapi tantangan di lingkungan. 14)
Semua yang berada di luar sistem adalah lingkungan. Sebagai individu maka keluarga dan gereja adalah lingkungan yang terdekat. Lingkungan adalah tempat kita memulai menyalurkan sifat rohani kita. Tanpa berkontak dengan lingkungan kita tidak dapat menunjukkan buah-buah rohani itu. 15)
Tapi pada dasarnya roh manusia tidak konsisten, keinginan daging (dosa) mengalahkan jiwa dan roh, sehingga jangan heran jika rasul Paulus mengatakan bagaimana dapat lepas dari tubuh yang lemah ini (atau roh adalah baik tetapi keinginan daging lemah). Jangan heran jika ada pendeta atau hamba Tuhan yang jatuh kedalam dosa, itu semua karena keinginan daging (roh-roh lingkungan/energy lingkungan) mengalahkan keinginan jiwa dan roh. Memahami sistem manusia Organisasi GPIB dapat mendefinisikan lingkungan organisasi gereja sebagai pola asumsi dasar (basic assumptions) dalam menuntaskan pemasalahan yang dihadapi baik di dalam gereja maupun lingkunan sekitar. Hal ini harus dipahami secara serius oleh para pelaku orgnisasi GPIB.
Jika asumsi ini menjadi warna dan menjadi budaya yang harus “dipatenkan” sebagai acuan normatif bagi organisasi GPIB di dalam menyelesaikan segala permasalahan baik di dalam maupun di luar. Asumsi ini akan menjadi absolut untuk diterapkan.
Karena itu, perbaikan kepemimpinan di GPIB harus ditempuh dengan memperbaiki kualitas , sebab hal ini merupakan salah satu pilar yang terpenting dalam sebuah lembaga organisasi. Kepemimpinan GPIB sepatutnya mampu menggagas tingkah laku gereja yang di dalamnya adalah masyarakat dengan mengatur, menunjukan, mengorganisir atau mengontrolnya. Pemimpin yang baik adalah seseorang yang memimpin dengan bantuan kualitas-kualitas persuasifnya. Antara lain menghargai perbedaan pendapat , sikap egaliter, mau menerima masukan, dan lain sebagainya.
Karena itu, perbaikan kualitas harus ditempuh dengan memperbaiki kualitas kepemimpinan dan orang-orang di dalamnya. Organisasi GPIB seharusnya sudah lulus dalam menata kelola visi dan misinya baik di dalam maupun di luar.
Selain faktor di atas, ”Budaya feodalistis masih sangat kuat. Ini bertentangan dengan semangat egaliter,” .Banyak agenda yang dibicarakan GPIB diSetiap persidangan hanya membicarakan segala urusan internal saja, kurang serius atau mungkin tidak mau terbeban banhkan mungkin saja tidak mampu membahas arah dan pergumulan gereja dan masyarakat, Bagaimana kita mau serius mewujudkan kehadiran GPIB di
________
15. bsp3.blogspot.com/…/manusia-adalah-sebuah-sistem bukan seorang pujangga, (14 November 2oo7)
16. Ibid.
tengah masyarakat. Rumusan kepentingan tidak terlihat jelas karena hanya sekedar wacana.
Dalam diskusi para pendeta GPIB di facebook ;
Menurut Pdt. Jo Hehanusa , GPIB masih berpikir bahwa hanya dengan kaca mata teologis saja semua persoalan bisa diselesaikan. Karena melihatnya hanya dari sudut teologis, kita kecenderungannya hanya mengaitkan yang teologis itu dengan internal gereja.
Menurut penulis, GPIB tidak tertarik dan mungkin terlalu sibuk di dalam, atau mencari aman sehingga gereja mengalami “rabun senja”, tidak tahu ke mana perubahan-perubahan terjadi di bangsa kita. Gereja harusnya membuat antisipasi, prediksi, dan proyeksi yang baik mengenai apa yang akan kita hadapi. Gereja harus gerak cepat untuk memahami perubahan-perubahan yang sedang terjadi, dan membuat beberapa formula kemungkinan untuk siap dalam perubahan tersebut.
Menurut Arie Ihalauw; Pekerjaan dalam Gereja bukan milik satu orang saja, seharusnya bisa dibicarakan berama, sebab kekayaan yang diberikan Tuhan itu sama, tetapi kemampuan kita berbeda, jadi saling mengisi . Nah, jikalau kita berpikir demikian, maka sekali lagi kita membutuhkan waktu untuk duduk bersama sambil membicarakan masterplan, termasuk visi pembentuk misi, barulah fungsi sistem dikembangkan, di mana setiap orang GPIB ikut mengambil dan berperan serta di dalamnya. Sekecil apapun potensi , itu adalah karunia Allah yang patut dipikirkan pemimpin masa depan, supaya potensi itu tidak tercecer, tidak dicuri orang, tidak dilecehkan; melainkan dihidupkan dan diayomi dalam persekutuan.
GPIB sebagai gereja yang hidup di abad 21 dengan segala perkembangan arus modernisasi di bidang pengetahuan dan tehnologi membutuhkan struktur dan sistem yang lebih mumpuni di samping tentunya Tuhan turut terlibat di dalamnya.
Dan sudah waktunya GPIB memikirkan lebih serius lagi keberadaannya di lingkunkan luar sangat dibutuhkan. Jika ini tidak dilakukan GPIB sama dengan RAKSASA DALAM TEMPURUNG atau hanya ada di dalam ISTANA ORANG BERHIKMAT
Dengan demikian, kita bisa berharap dan membangun sikap optimisme ke depan bahwa kiprah GPIB akan beriringan dengan peningkatan wawasan dan sikap kebangsaan seluruh komponen masyarakat Indonesia. GPIB harusnya menjadi pembelajaran yang dasyat. Berbagai isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)
Dengan memahami gereja sebagai kehidupan bersama atau persekutuan orang-orang percaya, pria-wanita, tua-muda; maka sesungguhnya gereja merupakan suatu organ, jadi adalah merupakan suatu organisai. Sebagai organisasi walaupun memiliki keteraturan/ketentuan yang spesifik, keteraturan/ketentuan secara umum harus juga diikuti oleh gereja. Justru keteraturan secara umum ini akan menempatkan gereja dalam hubungan dengan institusi/organ yang lebih baik secara vertikal maupun horizontal. Dengandemikian gereja bukanlah berada dalam situasi yang vacuum, tetapi berhubungan dan taat/”tunduk” kepada institusi/organ lain.secara duniawi., karena ada dalam kehidupan bersama.
___________
17. Seri membangun bangsa; Peran serta Gereja dalam Pembangunan nasional, h. 187, (Jakarta,1998)
Budaya organisasi di GPIB
Sesungguhnya GPIB sebagai organisasi yang besar berperan untuk mengembangkan suatu perilaku organisasi , mencerminkan kejujuran dan etika yang dikomunikasikan secara tertulis dan dapat dijadikan pegangan oleh seluruh anggotanya. Budaya tersebut harus memiliki pondasi nilai-nilai luhur bagi etika pengelolaan suatu organisasi yang mencakup profesionalisme, kerja sama, keserasian, keselarasan, keseimbangan, dan kesejahteraan. Implementasi nilai-nilai yang terdapat dalam budaya kerja tersebut dalam suatu organisasi sangat erat hubungannya dengan kemauan manajemen untuk membangun etika perilaku dan budaya organisasi.
Nevizond Chatab menyimpulkan budaya organisasi dari beberapa batasan yang disampaikan oleh para ahli, yaitu merupakan pengendali sosial dan pengatur jalannya organisasi atas dasar nilai dan keyakinan yang dianut bersama sehingga menjadi norma kerja kelompok dan secara operasional disebut budaya kerja karena merupakan pedoman dan arah perilaku kerja orang-orangnya, sedangkan Pithi Sithi Amnuai menyebutkan, budaya organisasi adalah seperangkat asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh anggota-anggota organisasi, kemudian dikembangkan dan diwariskan guna mengatasi masalah-masalah adaptasi eksternal dan masalah integrasi internal.
Budaya organisasi dapat menjadi perangkat daya saing yang utama, yaitu apabila budaya organisasi mendukung cetak biru atau kebijakan organisasi dan apabila budaya organisasi dapat menjawab atau mengatasi tantangan lingkungan dengan tepat sasaran.
Budaya organisasi sangat signifikan bagi organisasi dalam mencapai tujuannya. Jika orang-orang dalam organisasi tersebut mampu berpadanan budaya dengan skema atau haluan organisasi, maka tujuan organisasi dapat lebih “cespleng”, “tokcer” dan efisien dalam pencapaiannya. Budaya organisasi yang unggul dapat diciptakan jika organisasinya siap bertumbuh dan berkembang untuk mencapai tujuan akhirnya.
Persoalan manfaat atau peran sosio-religius dari manusia itu merupakan skema utuh dari sebuah arketipe, ornamen dan modus operandi budaya organisasi. Karenanya ketika kita membicarakan Fungsi dan peran orgainisasi tersebut sesungguhnya kita sedang bicara soal sistem.
Menurut Arie Ihalauw dalam sebuah diskusi di face book : Organisasi GPIB pasti memiliki DASAR (PRINSIP) TEOLOGI ALKITABIAH sebelum MEMBANGUN GAGASAN-GAGASAN atau Visi Dan Misinya. Sebab di dalam Alkitab terkandung banyak kekayaan spiritual dan sejarah sosial keagamaan yang dapat kita pakai untuk MEMBERDAYAKAN SISTEM KEHIDUPAN. Sebagai organisasi GPIB yang di dalamnya terdiri dari para TEOLOG (Pendeta) sangat penting dan selalu diingat terus menerus untuk menafsirkan ulang (reinterpretasi) , menguji ulang (re-evaluasi) dan merumuskan kembali (re-formulasi) NILAI-NILAI ALKITABIAH sebagai landasan spiritual untuk melakukan pembentukan kembali (re-formasi) tentang MANUSIA dan SISTEM-ORGANISASINYA (Tatanan Hukum dan Pelaksanaan Organisasi Gereja) yang selalu berkembang mengikuti arus perkembangan jaman/dinamis.
Yang terpenting memiliki KESETIAAN PEMIMPIN GEREJA terhadap KONSESNSUS / KETETAPAN-KETETAPAN yang ditetapkan melalui PERSIDANGAN SINODAL
GPIB yang bersistem presbiterial sinodal, memandatkan para presbyier sebagai “juru mudi”. Para presbiter yang adalah gabungan dari pilihan Allah berdasarkan pangilan (para pendeta) yang diberkati
Alah. Sama seperti Allah sipencipta dan siempunya dunia serta isinya, dan manusia diberi mandat sebagai pemelihara, sehingga manusia diciptakan dalam image of God. Begitu juga dalam sistem presbiterial sinodal para presbiter diberi mandat oleh Kristus untuk mengartikan gereja pada konteksnya. Hal ini berarti, peran sipemegang mandat adalah temporal dan harus mempertanggung jawabkan kepada pemilik-Nya. Siempunya berhak kapan saja mengambil ke-mandat-an yang diberikanNya, bergantung dari analisa, pilihan dan hak kebebasanNya. 16)
Di dalam organisasi GPIB sangat tampak membangun konstruk gagasan dengan membingkainya ke arah pendekatan inferensi atau konklusi teologis alkitabiah merupakan “model sakti nan sakral” Sedangakan gagasan dengan pendekatan induktif yang artinya; Cara (hal) menggunakan nalar, pemikiran atau berfikir secara logis masih sangat minim. Bukan berarti penulis menganggap pemahaman situasi teks tidak penting. Hal ini lebih merupakan sebuah style berpikir yang layan juga kita dalami namun tidak “idolatry” (pemberhalaan).
Organisasi GPIB harus memiliki stakhoders yang terdiri dari individu-individu dan kelompok yang diharapkan oleh sebuah organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi untuk pertumbuhan dan kelangsungan organisasi.
Menurut Mitchell (2006), Ia menjelaskan bahwa Stakeholders dikelompokkan dalam beberapa tipe sesuai kemampuan mempengaruhi suatu organisasi berdasarkan power, legitimasi, dan urgensi yang dimilikinya. Diantaranya adalah sebagai berikut: 17)
1) Dormant stakeholder adalah stakeholder yang hanya memiliki power namun tidak memiliki legitimasi dan urgensi.
2) Discretionary stakeholder adalah stakeholder yang hanya memiliki legitimasi namun power dan urgensi tidak ada padanya.
3) Demanding stakeholder adalah stakeholder yang hanya memiliki urgensi namun tidak memiliki power dan legitimasi
4) Dominant stakeholder adalah stakeholder yang memiliki power dan legitimasi namun tidak memiliki urgensi.
Dangerous stakeholder adalah stakeholder yang memiliki power dan urgensi namun tidak memiliki legitimasi.
Dependant stakeholder adalah stakeholder yang memiliki legitimasi dan urgensi namun tidak memiliki power.
Definitive stakeholder adalah stakeholder yang memiliki power, legitimasi, dan juga urgensi.
_________
18. mindawatiperanginangin.wordpress.com/2008/
19. renungankesaksian.wordpress.com/…/analisis-stakehol ,Analisis Stakeholders Menuju Organisasi
Gereja berkesinambungan, Oleh I Gusti Bagus Rai Utama, SE.,MMA.,MA.
Dari tujuh tipe stakeholder di atas, mungkinkah para stakeholder yang ada di gereja kita(GPIB) teridentifikasi ? Tipe stakeholder yang dianut di atas akan berimplikasi pada desain atau transformasi internal yang tentunya memiliki komitmen. Harusnya semua stakeholder organisasi GPIB ada dalam tipe definitive stakeholder yang memiliki power, legitimasi, dan juga urgensi sehingga keberadaan gereja dan jemaatnya akan bertumbuh dalam kepatuhan yang berimplikasi dengan damai sejahtera.
Kelumpuhan atau depresi organisasi GPIB juga dapat disebabkan kurangnya inovasi dan reka cipta para stakeholder yang kurang berkualitas . GPIB dimasa kini harus mampu menyentuh, mendiskripsikan dan berkolaborasi menangani masalah yang berhubungan dengan kemanusiaan dengan berbagai permasalahannnya , “kemakmuran” jemaatnya serta afeksi/interes terhadap lingkungan sekitar .
Jika GPIB tidak mampu membawa nilai nilai sosial maka GPIB bagaikan garam yang dibuang ke laut. Sedangkan jika GPIB tak mampu membawa harkat kekristenan pada lingkungannya maka GPIB tidak akan mampu menyinari dunia. Begitu juga, jika GPIB tidak mampu menjadi penggas nilai-nilai ekonomi maka GPIB tidak akan mampu memberi kesehjateraan pada jemaatnya. Hal ini akan menjadi bingkai misi dan visi yang saling terkait satu dengan lainnya. Gereja mau-tidak mau membuat suatu formula yang baru, sehingga kesaksian kita dapat lebih berdaya guna .
Pelayanan GPIB hendaknya dibangun dengan cara berfikir yang integratif, perspektif jangka panjang, mempertimbangkan keanekaragaman dan mendeliveri damai sejahteracbagi seluruh warganya dan tidak berorentasi pada partikulatif dan perspektif jangka pendek. GPIB kiranya dapat mengembangkan pemahamannya mengenai misi dan menata ulang hal-hal yang tidak pada tampatnya. Yang perlu diingat kembali bahwa misi itu ditujukan kepada manusia (universal) di dunia ini, dan yang teologis tekstual, bahkan teologis historis perlu lebih dikontekstualisasikan.
Jika GPIB terlalu sibuk di dalam maka GPIB akan mengalami “rabun senja”, tidak tahu ke mana perubahan-perubahan terjadi di bangsa kita. GPIB harus membuat antisipasi, prediksi, dan proyeksi yang baik mengenai apa yang akan kita hadapi, harus gerak cepat untuk memahami perubahan-perubahan yang sedang terjadi, dan membuat beberapa formula kemungkinan untuk siap dalam perubahan tersebut , harus segera mencari solusi agar tidak terisolasi atau terpenjara dengan perubahan-perubahan di bangsa ini,